Minggu, 11 Desember 2011

SK Gubernur Maluku Rugikan Masyarakat Hutan

 SK Gubernur Maluku tahun 2007, terkait dengan harga kayu kelas 1 seperti  lenggua dan lainnya dihargai Rp 25.000 -/kubik, sementara kayu kelas 2 yakni kayu besi dan sejenisnya hanya dihargai Rp 10.000 -/kubik.  Harga tersebut dibayarkan kepada masyarakat sebagai pemilik tanah yang merupakan hak ulayat mereka.  Sementara  pengusaha yang mendapat ijin pengelolaan hutan kemudian melakukan penebangan dan menjual kayu tersebut dengan harga yang berlipat ganda dari harga yang dibeli di masyarakat, yakni mencapai jutaan rupiah -/kubik,  Keputusan tersebut  sangat merugikan masyarakat adat di maluku, terutama masyarakat yang tersebar di wilayah Seram, Buru, Yamdena dan pulau-pulau lainnya. Keputusan gubernur  pemerintah propinsi sangat menguntungkan kepentingan pemodal dan justru tidak menghargai hak-hak masyarakat adat yang selama ini telah menjadi  benteng penyelamatan lingkungan dan hutan yang ada di Maluku. Dari hasil investigasi teman-teman anggota telapak Maluku  di wilayah pengunungan Salahutu, Maluku Tengah justru terjadi penebangan kayu yang tidak mengindahkan unsur-unsur penyelamatan lingkungan, misalnya  harus memenuhi  radius 200 meter antara bibir sungai dengan kawasan hutan, namun kenyataanya penebangan terus terjadi.

Dari diskusi teman-teman anggota telapak Maluku ada beberapa kesepakatan dari diskusi tersebut: secara taktis kita sepakat menolak dan agar segera di cabut SK gubernur  tersebut dan secara strategis teman-teman anggota telapak Maluku akan melakukan identifikasi terhadap 32 H. Lahan hutan di bawah pengelolaan dinas kehutanan pemerintah propinsi Maluku. Kemudian akan melakukan investigasi secara jauh terhadap praktek-praktek penebangan hutan di 32 H. lahan tersebut. Serta nantinya akan melakukan diskusi-diskusi  dengan melibatkan berbagai pihak untuk mendorong adanya kebijakan kehutanan di Maluku yang lebih menjaga keberadaan hutan adat dan masyarakatnya.





Jumat, 09 Desember 2011

Mengorganisir calon anggota TELAPAK Maluku


Oleh: Ejhon Wattimena

Pertama kali saya membangun komunikasi person dengan kawan-kawan yang selama ini telah saya kenal, pada waktu itu saya komunikasi lewat hendpon, karna terbatas akhirnya saya bersedia untuk ketemu langsung dengan kawan-kawan pada waktu itu, dan pertama kali saya komunikasi lansung dengan kawan lim (nama panggilan) dan pada waktu itu kawan lim dan kawan-kawan lainya masi sangat sibuk, karna mereka sedang melakukakan advokasi/pendampingan kasus pembunuhan wartawan di maluku..sehingga 3 hari kemudian kita ketemu di asrama kampus dan di sana ada beberapa kawan-kawan selain lim ada kawan salim, teko, arsani, fandy, kita kemudian berdiskusi mulai dari problem-problem HAM, lingkungan dan strategi gerakan yang selama ini di lakukan kawan-kawan, dan kemudian berkembang sampai pada diskusi terkait rencana kaderisasi telapak di maluku, dan pada kesimpulan  ada 2 hal yang di sepakati yang pertama: kawan-kawan merasa penting menjadi bagian dari telapak karna dari konsen gerakan telapak lebih fokus pada memperjuangkan sector-sektor yang itu secara keseluruhan menjadi kebutuhan masyarakat di maluku, yang  kedua” pada dasarnya kerja-kerja perjuangan tidak bisa di lakukan sendiri, butuh teman dan jaringan bersama termasuk informasi agar saling membantu kerja-kerja pengorganisasian kita dalam memperjuangkan hak-hak rakyat”.. dan di sepakati direncanakan pertemuan ulang untuk mengidentifikasi kawan-kawan yang akan dilibatkan dalam kaderisasi dan persiapan teknis lainnya.
Kemudian pada pertemuan kedua kawan-kawan semua hadir, dan di identifikasi kawan-kawan yang terlibat di dalam kaderisasi tersebut dan juga tempat, kapan dan berapa hari pelaksanaan kegiatan tersebut, kemudian di sepakati kawan-kawan yang terlibat antarany: kawan lim, salim, arsani, teko, fandy. Selanjutnya kita tentukan 4 hari pelaksanaan pelatihan kaderisasi, 2 hari forum 2 hari lapangan dan  tempat untuk lapangan kita tentukan 2 tempat. yang pertama ke desa pelau karna dengan pertimbangan  ada konflik adat yang cukup serius sampai terjadi pembunuhan di antara  masyarakatnya, yang kedua ke desa laimu dengan pertimbangan karna di sana ada konflik tanah adat dengan korporasi (perusahan djayanti group) sehingga kita tentukan 2 tempat tersebut sebagai tempat praktek lapangan, sedangkan pelaksanaan kaderisasi di sepakati di laksanakan pada tanngal 14 september 2011, namun dalam masa persiapan kegiatan tersebut, pada tanggal 12 september terjadi konflik kecil di Maluku, dan pertimbangan keamanan, sehingga kita sepakati untuk ditunda sementara rencana kaderisasi sampai ada kejelasan keamanan pada waktu itu.
Dan kemudian setelah keamanan di Maluku terkendali, teman-teman menunggu kejelasan kapan telapak bisa bersedia hadir lagi ke Maluku, dan informasi yang kita terima tanggal 12 oktober 2011 telapak (kawan azis) akan datang ke Maluku, dan pada tanggal 10 oktober teman-teman melakukan pertemuan merencanakan ulang pelaksanaan kegiatan: dan di sepakati pelaksanaan kegiatannya 2 hari, tempatnya di desa tial kecamatan salahutu kab malteng (Maluku tengah), dengan pertimbangan karna di desa tial ada kelompok nelayan tuna, dan juga ada konflik tanah adat dengan pemodal, sehingga kita tentukan perubahan tempat dari sebelumnya, dan pada tanggal 12 oktober pelaksanaan kegiatan di laksanakan, di mulai pukul 2.00 siang dengan kunjungan ke nelayan tuna yang ada di pantai putih desa tial. kita berbaur membakar ikan tuna sekaligus mengidentifikasi masalah-masalah yang di hadapi nelayan sampai pukul 6.00 sore hari. Setelah itu kita kembali ke tempat kegiatan dan memulai materi pelatihan pada pukul 6,30 sampai dengan selesai pada tanggal 14 oktober 2011” yang pada akhirnya: ditemukan beberapa kesepakatan di antaranya: “1) calon anggota telapak harus mampu mengawal 3 gerakan perjuangan telapak, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, bermartabat secara budaya di lingkungan masing-masing” 2) calon anggota telapak mampu mengorganizir kelompok masyarakat adat, petani, nelayan di masing-masing lingkunganya semampunya”3) calon anggota telapak mampu menginformasikan segala kerja-kerja pengorganiziran melalui media online dan terupdate secara simultan” dan setelah di tutup kegiatan tersebut dan dengan mengucapkan salam perjuangan kawan lim,salim,teko,arsani,fandy, resmi menjadi calon anggota telapak” dengan jargon : mari kita berjuangan dengan sekuat tenaga untuk keadilan lingkungan,nelayan,petani,dan masyarakat adat”
Dan pada tangga 22 oktober 2011 kita adakan koordinasi untuk menindaklanjuti kegiatan tial, sekaligus di bicarakan pembuatan media online dan rencana pengumpulan tulisan-tulisan pengalaman pendampingan di masing-masing indifidu” dan di sepakati media online yang akan kita gunakan berupa  media blog, selain itu di sepakati 1 minggu semua tulisan harus sudah bisa di kumpulkan sekaligus editing…dan Alhamdulillah telah kita lalui kerja-kerja tersebut dengan penuh kesabaran dan akhirnya dapat kita muat tulisan kita dalam blog ini.

Kamis, 08 Desember 2011

HUKUM ADAT DITANGAN MASYARAKAT HATUHAHA

OLEH : ALI M BASRI SALAMPESSY


Identitas budaya dan hak masyarakat taradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban
(Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I Ayat 3)

Indonesia merupakan negara yang didasari oleh nilai kemajemukan atau pluralistik dimana setiap daerah mempunyai adat istiadat dan kebiasaan yang dianut. sehingga kebiasaan atau adat-istiadat  ini merupakan sebuah aturan yang harus dihargai dalam lingkungan masyarakat tertentu. kesadaran akan norma atau hukum oleh suatu masyarakat ini telah tertanam pada nilai-nilai kultural yang dianut sejak nenek moyang mereka
Masyarakat Islam hatuhaha sejak awal terdiri dari lima negeri adat yakni Hulaliu, Pelauw, Kailolo, Kabau dan Ruhumoni yang terikat pada satu persekutuan adat yang disebut HATUHAHA AMARIMA LOUNUSA atau biasa disebut juga Uli hatuhaha.
Uli adalah suatu persekutuan yang terbentuk atau tersusun atas beberapa hena atau aman, uli adalah lembaga masyarakat yang khusus terdapat di daerah Ambon Lease. Walaupun didaerah sekitarnya terdapat lembaga yang sama dengan uli ini, tetapi tidak serupa, misalnya pata di pulau Seram. Mengenai arti dari uli itu sendiri terdapat perbedaan pendapat diantara para penulis. F. Valentijn mengartikan dengan “Persekutuan” (gespanschap) .Menurut Mr. F.D. Holleman uli itu adalah suatu “Perikatan atau gabungan suku-suku” (stammenbond) yang terdiri atas lima atau sembilan aman, hena atau soa. Didalam uraian selanjutnya Holleman menyebutkan bahwa uli adalah “Volk”( Forum Kominikasi Intelektual Muda Hatuhaha Waelapia, Selayang Pandang Pelanggaran Terhadap hak Asasi Manusia di Negeri Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku tengah, di sampaikan sebagai bahan infestigasi awal bagi KOMNAS HAM serta beberapa instansi terkait demi terwujudnya rasa kadilan dan kepastian hokum berdasarkan ketuhanan yang maha esa)
Dalam keterkaitan wujud adat, kepemimpinan masyarakat berada ditangan Raja Negeri Pelauw Yang sekaligus berkedudukan sebagai Latunusa (Raja Hatuhaha) dan kepemimpinan agama (Spritual) berada ditangan Imam Hatuhaha yang berkedudukan di Ruhmoni (Pokok-Pokok Pikiran Pemuda Matasiri (Pelauw),Mandalise (Ruhmoni) dan Samasuru (Kabau-Kotala’e) yang berdomesili di jakarta dan sekitarnya, mengenai perubahan Hisab Jumaatiah (Bilangan Hatuhaha) yang dilakukan oleh Hi, Abdul Basir Latuconsina, disampaikan kepada Latunusa dan Makuku hatuhaha).
Dalam tulisan ini penulis akan membagi dalam beberapa bagian yakni pertama tama penulis akan menguraikan tentang Masyarakat pelauw terlebih dahulu. Kemudian dalam tulisan yang lain baru penulis akan menguraikan ke empat Negeri yang lain dengan masing-masing bagiannya


BAGIAN I
NEGERI PELAUW
Alam pikiran masyarakat indonesia timur bersifat kosmis, begitu pula yang terjadi dengan alam pikiran masyarakat Negeri Pelauw, tidak ada pembatasan dunia lahir dan gaib, tidak ada pemisahan antara manusia dan makhluk-makhluk lain. Pandangan ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat tradisional yang tercermin dalam hukum dan kebudayaan mereka. Yang paling utama dalam masyarakat ialah adanya perimabangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang perorang. Aturan aturan adat telah berkembang dalam kepercayaan penduduk asli dan diwariskan secara turun temurun
Masyarakat Pelauw lebih banyak melihatnya sebagai aturan-aturan yang diberikan oleh penguasa langit ( upu lahatala lanito) atau batasan batasan yang telah ditetapkan oleh para leluhur yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan, segala bentuk tindakan ataupun perbuatan yang kemudian mengakibatkan hilangnya keseimbangan yang terdapat dalam masyarakat tersebut  merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna mengembalikan kembali keseimbangan hukum.
Bagi masyarakat persekutuan hukum Negeri Pelauw pokok dari segala penyelenggaran hukum adalah masyarakat persekutuan dan penting tidaknya perorangan tergantung dari fungsinya didalam persekutuan.
Dalam persekutuan adat di negeri pelauw  terdapat beberapa jabatan yang memegang kedudukan penting antara lain sebagai berikut :
1.      Raja (Upu Latunusa Barakate/ Upu Nusaiya)
Raja sebagai kepala persekutuan memegang kedudukan terpenting dalam pemerintahan Negeri. Di Pelauw raja dulunya diangkat turun temurun melalui garis lurus kebapakan (Patrinial) namun sekarang diangkat secara Demokratis dari Mata Rumah Parenta (Latupono, Latuconsina dan Latuamury) kemudian dilantik oleh Perwakilan Tuan Guru yang bergelar Lebe Lessy (dari Mata Ruma Tuasikal) sebagai perwakilan dari Imam Hatuhaha yang merupakan pemimpin spritual di Hatuhaha
Dikatakan  kedudukannya penting karena Raja mengurus segala urusan yang berhubungan dengan keduniawian dalam pemerintahan Adat           
2.      Tuan Guru (Upu Sisyi)
Tuan Guru adalah Pemangku Adat dati mata rumah Guru yang bertugas mencerdaskan masyarakat dan bertanggung jawab terhadap segala urusan yang berkaitan dengan dunia Gaib dan Akhirat, bertujuan untuk mencerdaskan Masyarakat pelauw dari segi Spritualitas. Tidak semua mata rumah/marga di Negeri pelau merupakan Rumah Guru dan pemangku adatnya bergelar Sisyi. Adapun pembagian mata rumah/marga dinegeri pelauw yang mendapat gelar Tuan Guru adalah Rumah Nai Sampale yang  merupakan Mata ruma marga Salampessy dan Rumah Nai Pelauw yang merupakan marga Tuasikal sedangkan Rumah Nai Pakewan yang merupakan marga Tuankota pemangku adatnya juga merupakan Tuan Guru tetapi hanya untuk anak dan cucu dari marga Tuankota hingga tidak bergelar Sisyi.
pengangkatan Tuan Guru ini diambil dari orang yang paling dituakan menurut silsilah di mata ruma tersebut dan pergantiannya setelah yang sebelumnya meninggal dunia/wafat.
3.      Pemimpin Perang  ( Upu Kapitang )
Sebagaimana dalam kehidupan sebuah negara kebutuhan akan Militer sangatlah dibutuhkan begitu pula halnya dengan Kapitang tugasnya menjaga kestabilan negeri dari ancaman yang timbul baik itu dari dalam maupun dari luar negeri, mengawal kebijaksanaan yang telah diputuskan oleh persekutuan melalui sidang Mosonipi (Kongres Negeri) agar proses keseimbangan bisa terus dirasakan ioleh setiap masyarakat
Pengangkatan didasarkan pada keturunan yang terdapat dalam mata rumah kapitang ( Tualepe, Tualeka, Sahubawa, Tuny) tiap pemangku adat Memiliki Gelar dari marga diatas adalah Upu Kapitang, namun kepala kapitang duduk pada marga Tualepe hal ini terlihat jelas ketika upacara adat cakalele Kapitang dari sahubawa dan talaohu mengutus anak buahnya untuk meminjam Upu kapitang dari Tualepe untuk menjadi pemimpin pasukan laturima dalam upacara adat tersebut, sementara itu dari marga Tualeka dan Tuni akan menggabungkan Lahato (Rahim secara simbolik) pertanda Pemimpin pasukan kepada Kapitang dari tualepe Untuk kemudian  bersama sama dengan pasukan Waelaurui, namun terlepas dari itu semua para Upu kapitang ini mereka memegang peranan yang sangat penting dalam bidanmgnya masing masing
Dalam kehidupan masyarakat adat segala sesuatu yang hendak dikerjakan membutuhkan penentuan kutika  (waktu) yang tepat. Kutika yaitu suatu istilah yang dapat di artikan sebagai waktu, merupakan sebuah pengetahuan yang berkaitan dengan penentuan waktu yang tepat, dalam kehidupan tradisional di pelauw, orang orang ketika hendak mengerjakan sesuatu mulai dari mendirikan Rumah, berkebun, menikahkan anak, khitanan, khaul, do’a selamatan, maupun upacara-upacara adat yang lain semisal Cakalele serta ritual keagamaan yang lainnya semuanya memerlukan penentuan waktu yang tepat atau kesempatan yang baik. Perhitungan Kutika ini terikat pada siklus bulan dan bukan matahari. Setiap orang bisa saja menghitung kutika dengan benar namun ketika hendak menjalankan hajat biasanya mereka ke Tuan Guru untuk memutuskannya
Namun untuk mewujudkan penyelenggaran pemerintah negeri dan lembaga adat yang adalah unit terndah langsung di bawah Camat, serta untuk mengurus kepentingan masyarakat yang berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang berada di daerah kabupaten maka di negeri pelauw mempunyai struktur organisasi pemerintah negeri memiliki struktur dan fungsi dari masing jabatan yang terlihat pada bagan berikut ini:
Struktur Organisasi Pemerintahan Negeri Pelauw

   
           

  1. Mosonopi
Mosonopi adalah forum pengambilan keputusan tertinggi masyarakat adat Negeri Pelauw. peserta mosonipi terdiri atas  Kepala-kepala Soa, Saniri Nagri dan dipimpin langsung oleh raja
  1. Kepala Soa/Marga
Kepala Soa/Marga  adalah Orang yang paling di tuakan dalam suatu soa/marga tertentu
  1. Saniri Negeri
Saniri Negeri atau biasa disebut saniri lengkap adalah lembaga legislatif yang keanggotaannya terdiri dari pejabat-pejabat  yang duduk dalam saniri Rajapatti dan wakil dari soa-soa tapi bukan kepala soa, kepala-kepala adat
  1. Raja
Kedudukan, tugas dan fungsi Raja: antara lain:
a)      Raja berkedudukan sebagai alat pemerintah Negeri dan pelaksanaan      pemerintah Negeri.
b)      Sesuai dengan kedudukan dimaksud Raja mempunyai tugas pokok untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, menjalankan urusan pemerintah. Pembangunan dan pembinaan masyarakat dan menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong royong.masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintah dan pembangunan di negeri.
c)      Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Raja mempunyai fungsi untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaran urusan rumah tangganya, menggerakan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya, melaksanakan tugas dari pemerintah daerah, melaksanakan penyelenggaraan ketentraman masyarakat, melaksanakan kegiatan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan lainnya.
  1. Sekretaris Negeri
Kedudukan, tugas dan fungsi Sekretaris negeri antara lain:
a)      Sekretaris negeri berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Raja
b)      Sekretaris mempunyai tugas menjalankan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di negeri serta memberi pelayanan administrasi kepada Raja dan masyarakat
c)      Sekretaris negeri mempunyai fungsi:
Ø    Melaksanakan unsur surat-menyurat, kearsipan dan laporan.
Ø    Melaksanakan urusan keuangan.
Ø    Melaksanakan urusan administrasi pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan.
Ø    Melaksanakan tugas dan fungsi Raja apabila Raja berhalangan melaksanakan tugas-tugasnya.
  1. Kepala Urusan
Kedudukan, tugas dan fungsi kepala-kepala urusan, antara lain:
a)      Kedudukan kepala urusan adalah unsur pembantu sekretaris negeri dalam bidang tugasnya.
b)      Kepala Urusan brertugas menjalankan kegiatan sekretaris negeri dalam bidang tugasnya.
c)      Fungsi Kepala urusan adalah:
Ø  Melakasanakan kegiatan-kegiatan urusan pembangunan, kesejahteraan keuangan dan umum sesuai bidang tugas masing-masing.
Ø  Memberikan pelayanan administrasi terhadap Raja.

A.    Beberapa Perilaku Adat Dalam Lingkungan Masyarakat Hukum Adat Negeri Pelauw
Interaksi antara satu individu dengan individu yang lainnya dalam lingkungan masyarakat yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan tertentu, kebutuhan interpersinal, yakni kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, yang apabila tidak terlaksana akan menghasilkan gangguan atau keadaan yang tidak menyenangkan bagi pribadi yang bersangkutan, dan setiap kebutuhan-kebutuhan interpersonal tersebut akan melahirkan perilaku-perilaku tertentu.
Hukum adat tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dan tidak ada pemisah yang jelas antara lapangan hukum publik dan hukum privat. Seluruh lapangan kehidupan masyarakat menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang dan apa yang tidak. Dalam Petuah Hatuhaha dikatakan bahwa ; Sainyie innyie, alemmie ummie, laha ole kura taha (Barang milik orang tetap milik orang, barang milik kamu tetap milikmu, katakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah) yang berarti bahwa jangan sekali kali mengambil barang dan atau hak milik orang lain selain milikmu sendiri dan jangan melakukan kesaksian yang palsu katakanlah yang benar itu benar jangan sekali kali engkau salahkan, dan yang salah tetap salah jangan sekali kali engkau benarkan sekalipun pahit adanya.
Masyarakat hukum adat Negeri Pelauw memiliki berbagai perilaku adat yang hingga saat ini masih tumbuh dan berkembang didalam kehidupan sehari-hari  masyarakat Pelauw, perilaku perilaku tersebut akan coba penulis uraikan sebagai berikut :
1)      Hiti Hura Amala
Menjadi sebuah kebiasaan masyarakat adat negeri pelauw bahwa ketika memasuki Hura Amala (bulan Amalan menurut ajaran islam) para ibu biasanya membersihkan seluruh perabotan rumah tangga yang berada di rumah soa (rumah tua) sedangkan kaum laki-lakinya di anjurkan untuk mandi bersih dan ketika pada saat satu hari bulan menurut perhitungan adat masyarakat di anjurkan untuk semuanya harus berada di dalam negeri
2)      Ma’a Hajia (Khitanan/sunatan)
Dalam Agama Islam Ma,a hajia/Khitanan merupakan sebuah sunah yang harus dijalankan kepada anak laki-laki, namun di Pelauw dalam prakteknya agak berbeda dengan umat islam kebanyakan, biasanya ketika seorang anak laki-laki yang sudah di tentukan untuk hitanan/sunatan itu beberapa jam sebelum prosesi di jalankan di wajibkan untuk membawa do’a selamat (Uang koin dengan tujuan unmtuk dimintakan keselamatannya selama Ma’hajia itu berlangsung),  kepada seluruh orang tua-tua yang merupakan keluarga dekatnya baik dari pihak ibunya ataupun dari pihak nenek dari bapaknya, biasanya acara ini dilaksanakan di rumah soa setiap marga masing masing.
Masyarakat adat Pelauw berkeyakinan bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak laki-laki sebelum di di sunat merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya setelah itu baru merupakan tanggung jawab si anak tersebut, olehnya itu syatrat untuk seorang anak lelaki untuk di sunat adalah ketika dia sudah berakal balik ( mampu membedakan apa yang baik dan apa yang buruk), dia (anak laki-laki yang disunat) akan di karantina di rumah tua sampai batas waktu yang ditentukan dan  diperlakukan sangat istimewa
Ketika malam dimana keesokan harinya merupakan hari terakhir dari proses karangtina ini berlangsung apa yang dionamakan Mapualo ( Membawakan sirih pinang ke Rumah Tua dari pihak ibu atau nenek yang biasanya mereka sedang)  keesokan harinya para anak yang di sunat ini akan dimandikan di ujung Negeri Pelauw bahagian barat tepatnya di pantai Pepela kemudia di rias dengan pakaian kebesaran dari tiap-tiap marga setelah itu diarak keliling kampung dengan Hadrat oleh para pemuda dan orang-orang tua laki-laki keliling Negeri Pelauw sampai finis pada Ruamh Tua masing masing.

3)      Perkawianan,
Sudah merupakan sunah toullah (hukum alam). bahwa Allah SWT Tuhan YME menciptakan segala sesuatu dimuka bumi ini berpasang pasangan, ada malam ada siang, bumi dan langit, ada air laut dan air tawar, dan lain-lainnya  begitu pula dengan manusia ada laki-laki dan ada perempuan, tidak lain dengan tujuan untuk saling melengkapi.
Dalam tradisi perkawinan dalam masyarakat Adat Pelauw ketika dua insan yang berlainan jenis bersepakat untuk meningkatkan hubungan kejenjang yang lebih tinggi yakni perkawinan maka biasanya keluarga dari pihak lelaki mengajukan pinangan yang dalam bahasa Pelau dinamakan Ma’a Nusu Mahu.
Apabila pinangan tersebut telah diterima maka keluarga lelaki melalui kepala adat yang bertempat di rumah Soa menetapkan hari perkawinan kepada pihak perempuan setelah berkonsultasi ke tuan Gurunya Menyangkut dengan Kutika/saat yang tepat untuk melangsungkan perkawinan.
Setelah itu prosesi perkawinan mulai di laksanakan, biasanya terdiri dari tiga hari namun sekarang karna pertimbangan anggaran maka di rampingkan menjadi dua hari namun kesemuanya itu tidak mengurangi esensi perkawinan itu sendiri. Malam pertamanya dinamakan Tihala. Pada malam ini pengantin perempuan akan di antar ke rumah soa keluarga laki-laki (Rumah soa keluarga laki-laki merupakan tempat dimana akan dilangsungkannya upacara perkawinanj). Disini seluruh pemuka adat telah di undang untuk membacakan do,a selamat dam memberitahukan kepada para leluhur bahwa akan di adaklannya perkawinan antara si A dengan Si B misalnya.setelah itu melalui orang orang tertentu yang memang sudah di undang dan ditugaskan untuk pukul Tifa/rabana (Alat Musik Pukul cirihas orang Maluku) sementara yang lainnya melantungkan pantun-pantun tentang perkawinan, ini bermaksud sebagai wahana sosialisasi kepada seluruh masyarakat bahwa ketika mereka mendengarkan suara tipa tersebut maka mereka akan mengetahui informasi tentang siapa yang sedang melangsungkan perkawinan. Setelah itu pengantin wanitanya di pulangkan kerumahnya
Besok siangnya akan di lanjutkan dengan yang namanya Ma’a Koku Adat. Ini merupakan proses yang tidak kalah penting, dengan maksud memberikan apa-apa saja yang sudah ditetapkan sebagai syarat sebelum dilangsungkan perkawinan baik itu mahar maupun syarat-syarat lain yang merupakan ketentyuan adat. Malamnya baru dilanjutkan dengan ijab kabul sebagai syarat mutlak sahnya sebuah perkawinan, adapun para pihak yang terlibat dalam acara perkawinan ini sama dengan tradisi dalam Umat Islam.
4)      Fitnah/pencemaran nama baik,
Fitnah itu lebih kejam dari membunuh seperti itulak pepatah bijak yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari hari. Namaun dalam kehidupan tradisional yang alam pemikiran kosmis telalu mendominasi terkadang mereka sulit menerima sesuatu dengan penuh tangan terbuka, bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini sudah ada yang mengaturnya.
Banyak sekali kita temui di pelauw ketika seseorang sakit atau bahkan meninggal para keluarganya sering melimpahkan sebab-sebab sakit atau meninggal kepada orang lain dan perilaku seperti ini tentunya akan menimbulkan kemarahan yang luar biasa dari orang yang dituduh/di fitnah, tidak jarang buntut dari persoalan ini adalah perkelahian. Untuk menyelesaikan perkara seperti ini biasanya ada yang menempuh jalur ke pemerintah Negeri Pelauw namun ada juga yang memilih mengadakan Upacara Potong Kurban (kaulo siautu) yang sebelumnya sudah niatkan untuk menentukan apakah fitnah itu benar adanya atau tidak, konsekwensi dari sumpah dengan menggunakan hewan korban ini adalah bisa sampai menghilangnya nyawa seluruh keturunan
5)      Hua salei amu salei / berzinah dengan istri orang, 
Salah satu perilaku yang juga termasuk pelanggaran besar adalah  Merusak Pagar ayu/berzinah dengan istri orang yang dalam bahasa pelauw kenal dengan istilah Huwa salei amu salei. Bagi para pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran ini akan di botakin dan kemudian di arak keliling kampung  setelah itu mereka akan dikucilkan oleh masyarakat.
6)      Ziarah keramat (Makam Orang Tua-tua),
Sudah merupakan kewajiban bagi anak yang soleh untuk selalu mendo’akan orang tuanya serta para leluhurnya yang mana telah menitiskan darah mereka sehingga ia (anak) bila terlahir di bumi ini.
Pelauw merupakan salah satu negeri adat yang sampai saat ini selalu melakukan ziarah rutin ke Keramat. Ritual adat ini biasanya di laksanakan dua kali dalam setahun yakni menjelang bulan Rabiul Awal dan menjelang bulan Rmadhan. Karena letaknya yang jauh dari negeri maka masyarakat di wajibkan membawa Ta’alasi. Di sana (Keramat) masyarakat melakukan pembersihan lingkungan keramat dan sekitarnya, setelah itu ta’a lasi tersebut di kumpulkan menjadi satu oleh petugas yang di tunjuk lalu di adakan Ma’a Tarima Gaji[1] dalam bentuk makan patita
Sementara itu para pemuka adat memanjatkan do’a untuk keselamatan seluruh warga masyarakat adat di dalam bangungan keramat.
7)      Ma’a Kuhu Meito ( Menyelan di laut )
Menurut Upu[2] Sisyi Samaroho Salampessy[3] ( 89 Tahun) bahwa Ma’a Kuhu Meito (Menyelam Dilaut) adalah suatu model penyelesaian sengketa adat yang menggunakan laut sebagai media untuk proses pembuktian hukum berhak atau tidaknya para pihak yang bersengketa  terhadap objek yang menjadi alasan dari sengketa tersebut.
Pernyataan ini kemudian ditegaskan oleh Upu Khatib Taher Angkotasan (70 Tahun)salah satu staf masjid Adat Negeri Pelauuw yang juga pernah menjabat sebagai sekretaris Desa Palauw . dari hasil wawancara dengan kedua tokoh diatas pada saat yang berbeda mereka mengatakan bahwa Tujuan  diadakannya Ma’a kuhu meito ini adalah sesungguhnya untuk mencari keadilan, hal mana kemudian ketika suatu perkara yang terjadi namun oleh pemerintah Negeri Adat yang bertindak sebagai hakim adat tidak berani memutuskan perkaranya karena bukti yang di ajukan oleh kedua belah pihak yang berperkara ternyata tidak bisa menjamin dan memberikan titik tengan dari problem tersebut.
Sementara itu menurut pengakuan Upu Tukang[4] Hajirati Tuahena ( 87 Tahun ) sekarang sebagai kepala soa marga Tuahena yang kemudian dalam keterangannya menjelaskan bahwa ; mencari kebenaran manusia itu sangatlah sulit oleh karena itu ketika terjadi kasus – kasus yang menyangkut dengan tapal batas dusun apalagi yang berkaitan dengan suatu tanaman yang berada persis ditengah-tengah batas antara yang dua orang dan atau lebih yang oleh mereka sama-sama mengklaim bahwa tanaman tersebut kepunyaan mereka, ketika persoalan seperti ini muncul dan tidak bisa terselesaikan dengan baik oleh mereka dan karena potensi manusia itu kabanyakan melakukan perilaku yang menyimpang sehingga melahirkan ketidak seimbangan dalam masyarakat, oleh karena itu sesuai dengan aturan adat yang berlaku di Negeri Pelauw maka Aparat Pemerintahan Adat Negeri Pelauwlah yang memiliki kewenangan sebagai hakim untuk memutuskan perkara tersebut. Dari data penelitian yang penulis himpun dilapangan setelah mewawancarai para tohoh adat mereka mengatakan bahwa Adat Ma’a Kuhu Meito ini  sudah mulai diberlakukan sejak negeri Pelauw Mulai ada
Proses penyelesaian perkara dengan menggunakan adat “Ma’a Kuhu Meito” ini menurut penuturan Upu Khatibe Taher Anggotasan adalah mula mula sebuah perkara diajukan ke aparat pemerintahan adat Negeri Pelauw kemudian oleh raja diutuslah beberapa orang dari stap pemerintahan Negeri untuk melakukan Komisi[5] untuk melihat lebih dekat dan mencari bukti bukti yang kongkrit sehingga bisa melahirkan titik terang terkait dengan status hukum objek sengketa tersebut, namun apabila petrugas yang diutus untuk komisi tersebut tidak dapat memutuskan sengketa tersebut dikarenakan objek sengketa berada ditengah-tengan batas masing-masing pihak yang mengklaim dan untuk menjaga keseimbangan masyarakat serta aspek keadilan terhadap persoalan tersebut maka petugas yang melakukan komisi tersebut kemudian merekomendasikan agar diselesaikan dengan Adat Ma’a kuhu meito dengan sebuah keyakinan bahwa keadilan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki oleh Allah SWT, Tuhan YME dan laut hanyalah dijadikan sarana untuk mencari keadilan Tuhan.
Masyarakat Pelauw percaya bahwa Allah SWT, Tuhan YME menciptakan seluruh alam beserta isinya dan kemudian mempercayakan para malaikat maupun nabi untuk menjaganya, olehnya itu inti munajat do’a dari penghulu masjid yang bertindak sebagai hakim Adat dalam Adat Ma’a kuhu meito adalah kepada Allah SWT namun melalui Akhlul Ghaib Nabi yang mereka percaya menjaga lautan untuk kemudian diteruskan kepada Allah SWT Tuhan YME.
Ketika perkara sudah diajukan ke pihak penghulu masjid untuk kemudian di selesaikan dengan menggunakan Ma’a kuhu meito maka biasanya upu imam masjid mengumpulkan seluruh staf penghulu masjid untuk mensosialisasikan informasi terkait dengan perkara/sengketa yang diajukan. Dalam pertemuan tersebut mereka (penghulu masjid) kemudian memutuskan kutika atau waktu yang pas.
Adat Ma’a kuhu meito ini biasanya dilaksanakan pada hari Jumat pagi, ketika itu (jum’at pagi) para penghulu mesjid mereka berkumpul di salah satu rumah yang berada di pinggir laut kemudian duduk untuk memanjatkan do’a kepada Allah SWT Tuhan YME agar sekiranya dapat memberikan suatu pertanda kepada para pihak yang bersengketa
Apabila kasus yang di ajukan berkaitan dengan tanaman maka para pihak yang bersengketa di wajibkan untuk memotong salah satu akar tanaman tersebut yang disaksikan oleh aparat pemerintahan negeri, keikut sertaan aparat pemerintahan negeri ini bertujuan agar tidak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh para pihak, akar tersebut kemudian kemudian dibagikan kepada mereka. Setelah itu para pihak dihadapkan kehadapan para penghulu masjid yang sudah terlebih berada disalah satu rumah yang berada di pinggil laut, tempat dimana segala persiapan terkait dengan Sidang adat Ma’a kuhu Meito sebelum para sengketa menuju ke laut.
Menurut Imam Masjid Pelauw Upu Ibrahim Latuconsina (70 Tahun} pakaian yang digunakan oleh orang orang yang dipercayakan sebagai wakil untuk menjalani sidang adat ma’a kuhu meito ini adalah pakaian adat (seperti pakaian cakalele namun tidak menggunakan ikat pinggang) berwarna putih.
Para penghulu masjid kemudian membacakan do,a salamat dari masing-masing pihak dengan tujuan agar siapapun yang berhak haruslah mendapatkan kembali haknya. Ale seia kiha ume kura rimairua nalai rihu esana ia tananenoto berarti ireny mustahaku[6] (barang siapa yang menggali tanah dengan kedua tangannya sehingga bercucuran keringat berarti dialah yang berhak). Setelah itu para pihak kemudian dibekali dengan sebuah batu yang beratnya kira kira 10 Kg, batu ini bertujuan agar ketika menyelam tidak ngambang kepermukaan. Oleh karena itu sekalipun terdapat kubungan kekerabatan antara salah satu pihak dan atau keduanya dengan para penghulu masjid yang ketika itu bertindak sebagai hakim adat tidaklah menjamin bahwa orang tersebut akan memenangkan perkaranya
Setelah selesai do’a di bacakan para pihak kemudian di arahkan ke laut yang dalamnya sebatas leher oleh Modim (dalam bahasa Arab artinya billal/sar’a), para pihak ini akan mendengarkan aba aba yang dikumandangkan oleh Modim. Modim tersebut berdiri di atas jembatan kemudian melafatkan salawat nabi sebanyak 3 X (tiga kali) sebagai aba-aba/tanda komando dimulainya Ma’a Kuhu Meito. Jarak satu sama lain antara para pencari keadilan ini adalah 5 – 7 Meter.
Setelah mendengarkan salawat nabi tersebut para pencari keadilan ini kemudian menyelam menuju batu yang diberikan kepada mereka yang sebelumnya sudah mereka letakkan persis dibawahnya sambil meletakan uang do’a salamat yang tadi sudah dido’akan oleh para penghulu masjid tepat dibawah batu sambil memeluk batu tersebut.
Menurut pengakuan beberapa orang yang penulis temui yang pada saat terjadinya perkara mereka bertindak mewakili para pihak kemudian kalah dalam proses pembuktian hukum tersebut bahwa pada saat menyelam itu ada tiga gelombang yang datang sebagai ujian kepada mereka.
Dari pernyataan para tokoh adat penulis kemudian menyimpulkan bahwa gelombang yang pertama bertujuan untuk mengunguji tingkat keseriusan dari pencari keadilan tersebut, sedangkan gelombang kedua bertujuan untuk memberikan pertanda kepada para pencari keadilan, yang tidak berhak biasanya merasa kehabisan nafas dan merasakan dorongan yang kuat untuk segera muncul kepermukaan sementara yang beerhak akan merasa nyaman dan bisa bernafas sebagaimana sebelum menyelam bahkan sampai mereka tertidur didalam laut karena menganggap batu yang dibawa tadi sebagai bantal yang empuk. Kebenyakan dari mereka yang tidak berhak akan memilih muncul kepermukaan pada gelombang yang kedua ini
Sedangkan gelombang yang ketiga bertujuan untuk memberi sangsi kepada pihak yang tidak berhak mereka biasanya merasakan kepalanya tertekan kebawah dan kemudian melihat ikan besar yang datang mengikuti gelombang dengan mulut yang terbuka seolah –olah hendak memangsanya sehingga mau-tidak mau mereka harus muncul kepermukaan kalau ternyata masih membandel bisa berakibat hilangnya nyawa.
Sementara itu orang yang berhak akan merasa nyaman dan tertidur sampai saat ketika orang datang untuk membangunkannya dan menyampaikan kepada dia bahwa yang bersangkutan telah memenangkan perkara.
Contoh Kasus yang pernah diselesaikan melalui Adat Ma’a Kuhu Meito
Dibawah ini akan penulis uraikan beberapa contoh kasus yang penulis temui saat wawancara dengan para tokoh adat terkait dengan kasus-kasus yang telah diselesaikan dengan mengginakan Adat Ma’a kuhu meito ini
1.      Pada zaman hindia belanda tahun 1940
Terjadi persengketaan antara marga Tuahena dengan Marga Tualeka terkait dengan kepemilikan dusun sagu di Puti Ressy yang biasa disebut lapia parigi (sagu sumur). Akli waris dari marga Tuakia mengklaim bahwa dusun sagu tersebut merupakan  kepunyaan mereka sementara akhli waris Tuahena jugapun merasa demikian sebagaimana dengan apa yang di sampaikan oleh para pendahulu mereka di rumah soa, konflik kecil-kecilan pun sering terjadi di lokasi dusun lapia parigi. Sebagaimana kita ketahui bahwa sagu merupakan makanan pokok orang maluku, olehnya itui tentunya keberadaan sagu sebagai sumber kehidupan sangatlah memiliki peranan penting demi kelangsungan hidup manusia. Untuk mencegah konflik yang lebih meluas persoalan tersebut dibawa ke pemerintah negeri untuk diselesaikan secara adat kemudian oleh pemerintah negeri di ajukan lagi kepihak penghulu masjid untuk di putuskan menggunakan Adat Ma’a kuhu meito.
 Tn. Saripmahu Tuahena bertindak sebagai perwakilan dari marga tuahena dan Tn. Abu Bakar Tuasikal bertindak sebagai perwakilan dari marga Tualeka adapun hubungan Tn. Abubakar Tuasikal dengan Tualeka karena ibunya anak cucu keturunan Marga Tualeka.  Kasus ini kemudian dimenangkan oleh Tn Sarip Mahu Tuahena. Sejak saat itu tidak ada lagi konflik antara Tuahena dan Tualeka karena dusun lapia parigi[7]
2.      Pada tahun 1954
Terjadi kasus menyangkut Pohon Cengkih di dusun Robo huhui antara Tn Horit Tuakia dan Tn. Nurdin Angkotasan yang mewakili Tn. Haji Tamat  yang kemudian dimenangkan oleh Tuan Horit, padahal masa itu Tn. Nurdin merupakan seorang yang di anggap mampu dalam hal menyelam dilaut karena ketika pada masa penjajahan Jepang beliau (tn. Nurdin-red) sering di gunakan oleh Jepang untuk menyelam[8]
3.      Pada Tahun 1985
Objek sengketa menyangkut Pohon Sagu di dusun lawata  antara Tn. Roho Alim Latuconsina dengan Tn. Ibrahim Talaohu yang dimenangkan oleh Tn. Roho Alim Latuconsina[9]
4.      Pada tahun 1987
Terjadi kasus lagi namun kali ini berkaitan dengan pohon Duriang di dusun sarut. Antara Tn. Muralebe Salampessy yang kemudian dalam proses pembuktian hukumnya diwakili oleh anaknya Abunuru Salampessy dengan pihak dari Latipu Latupono yang diwakili oleh Talip Salampessy yang dimenangkan oleh Tn. Abunuru Salampessy.[10]
Setelah kasus-kasus diatas, sampai saat ini belum ada kasus yang muncul dan sampai ketingkat penyelesaian dengan metode Hukum Adat Ma’a Kuhu Meito ini.
Mengingat  sistem penyelesaian sengketa adat dengan menggunakan Ma’a kuhu meito ini memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga stabilitas serta keseimbangan dalam masyarakat maka hal ini dapat dijadikan sebagai Alternatif Penyelesaian sengketa diluar pengadilan
B.     Sanksi Adat Ma’a Kuhu Meito Dan Pengaruhnya Dalam Masyarakat Negeri Pelauw
Adapun sangsi yang timbul akibat tindakan penyerobotan terhadap sesuatu yang bukan haknya menurut hukum adat ma’a kuhu meito ini adalah bahwa apabila ternyata tindakan tersebut telah menimbulkan kerugian meteril maka yang kalah di haruskan untuk mengganti segala bentuk kerugian yang diderita oleh yang berhak
Sedangkan secara fsikis orang tersebut akan merasa terasing karena di jauhi dalam pergaulan sehari-hari oleh masyarakat negeri Pelauw. Oleh karena itu melihat sangsi seperti ini maka pada kasus – kasus belakangan yang timbul berkisar dari tahun 1988 hingga sekarang tidak pernah sampai ke proses pembuktian Ma’a kuhu meito karena para pihak yang kemudian merasa tidak memiliki hak tidak datang menghadap ketika dipanggil oleh penghulu masjid dengan demikian pihak yang datang dinyatakan berhak atas objek sengketa.
Dari penilitian yang penulis lakukan sejauh ini tidak pernah ada komplen yang timbul dari pihak yang dinyatakan kalah dalam sidang adat ma’a kuhu meito,hal  ini membuktikan bahwa hukum adat “Ma’a Kuhu Meito” ini memenuhi rasa keadilan dari para pencari keadilan.
Kepatuhan terhadap keputusan adat oleh setiap masyarakat di negeri Pelauw sudah terdoktrinasi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, hal ini sesuai dengan petuah orang tua-tua yakni  “Ai pasalaoti epasuri-suri,Kisai yakakoti auwrolonea, Kosaiyakakoti auwrolono, Suwe guruasi janji” yang mengandung arti bahwa seluruh aturan adat yang telah diwariskan itu haruslah dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan ajaran guru-guru hatuhaha.
Sangsi Adat Ma’a Kuhu meito ini berlaku kepada seluruh masyarakat adat Pelauw, ketika penarapannya dalam masyarakat semua orang memiliki kedudukan yang sama tidak ada pengecualian bagi seluruh masyarakat Adat negeri Pelauw
Menurut Imam Masjid Upu Ibrahim Latuconsina bahwa Salah satu hal yang paling besar dan paling berpengaruh terhadap kepatuhan hukum atas keptusan sidang adat Ma’a Kuhu Meito ini adalah keterikatan batin masyarakat Pelauw dengan Adat mereka itu sendiri


Bersambung Ke Bagian II……..




  • [1]
  • [2] Merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada orang Tua-tua Hatuhaha
  • [3] Tuan Guru dan pemangku Adat  Marga salampessy
  • [4] Tukang adalah salah satu jabatan penghulu masjid yang berkaitan dengan pembangunan
  • [5] komisi dalam penegertian orang Pelauw adalah Meninjau lokasi  dan atau objek yang menjadi alasan terjadinya sengketa.
  • [6] Upu Khatibe Taher Angkotasan
  • [7] Dikutip dari wawancara dengan Upu Tukan Hajirati Tuahena. Pelauw 2009
  • [8] Dikutip dari wawancara dengan Upu Khatibe Taher Angkotasan. Pelauw 2009
  • [9] Jamaldin Latuconsina. Tokoh masyarakat Pelauw yang menyaksikan terjadinya sidang adat tersebut
  • [10] Dikutip dari wawancara dengan Upu Khatibe Taher Angkotasan. Pelauw 2009