SK Gubernur Maluku tahun 2007, terkait dengan harga
kayu kelas 1 seperti lenggua dan lainnya
dihargai Rp 25.000 -/kubik, sementara kayu kelas 2 yakni kayu besi dan
sejenisnya hanya dihargai Rp 10.000 -/kubik.
Harga tersebut dibayarkan kepada masyarakat sebagai pemilik tanah yang
merupakan hak ulayat mereka. Sementara pengusaha yang mendapat ijin pengelolaan hutan
kemudian melakukan penebangan dan menjual kayu tersebut dengan harga yang
berlipat ganda dari harga yang dibeli di masyarakat, yakni mencapai jutaan
rupiah -/kubik, Keputusan tersebut sangat merugikan masyarakat adat di maluku,
terutama masyarakat yang tersebar di wilayah Seram, Buru, Yamdena dan pulau-pulau
lainnya. Keputusan gubernur pemerintah
propinsi sangat menguntungkan kepentingan pemodal dan justru tidak menghargai
hak-hak masyarakat adat yang selama ini telah menjadi benteng penyelamatan lingkungan dan hutan
yang ada di Maluku. Dari hasil investigasi teman-teman anggota telapak Maluku di wilayah pengunungan Salahutu, Maluku Tengah
justru terjadi penebangan kayu yang tidak mengindahkan unsur-unsur penyelamatan
lingkungan, misalnya harus memenuhi radius 200 meter antara bibir sungai dengan
kawasan hutan, namun kenyataanya penebangan terus terjadi.
Dari diskusi teman-teman anggota telapak
Maluku ada beberapa kesepakatan dari diskusi tersebut: secara taktis kita
sepakat menolak dan agar segera di cabut SK gubernur tersebut dan secara strategis teman-teman
anggota telapak Maluku akan melakukan identifikasi terhadap 32 H. Lahan hutan
di bawah pengelolaan dinas kehutanan pemerintah propinsi Maluku. Kemudian akan
melakukan investigasi secara jauh terhadap praktek-praktek penebangan hutan di
32 H. lahan tersebut. Serta nantinya akan melakukan diskusi-diskusi dengan melibatkan berbagai pihak untuk
mendorong adanya kebijakan kehutanan di Maluku yang lebih menjaga keberadaan
hutan adat dan masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar